By : Fahmi Islam Jiwanto, MA
Human life and driven by the desire. Time and all that belongs to human consumption and is used to realize the desire. But a question off this axiomatic fact; namely kenginan such as what and who should desire to follow?
With its position in the human desire divided into several groups:
First, the man who only wants to follow him. Nothing important for him except that he would like. Perhaps he thought himself free. Merdeka determine that all he wants. Also free to think what he imagined. Independence is important to form personality. Without a man's independence is just a number that is not too important in the middle of the billions of human beings. But there is limit independence. Man who does not tend to limit themselves selfish and egocentric. Even more al-Qur'an mentions this as a human being like the human sex nafsunya worship. He said in the letter of al-Jatsiyah paragraph 23:
23. "So did you see the person who made the sex nafsunya as his Lord and God membiarkannya based on science, and God has sealed their hearts and hearing and put veils on penglihatannya? So who will be guided after God (membiarkannya astray). So why do you not remember? "(QS Al-Jatsiyah: 23)
Rasulullah SAW also mentions that people only follow nafsunya sex as the person who is weak.
“Barang siapa yang menjadikan pikiran-pikirannya menjadi satu pikiran yaitu pikiran akhirat, Allah cukupkan masalah dunianya. Dan barang siapa yang pikirannya bercabang-cabang di urusan dunia, Allah tidak perduli di lembah dunia mana dia akan binasa.” (HR Ibnu Majah dan al-Hakim dihasankan oleh al-Albani)
Semoga Allah menyelamatkan kita dari musibah seperti itu.
Keempat, manusia yang menenggelamkan dirinya dalam keinginan Sang Pencipta. Dia hanya menginginkan keridhoan Allah. Dia tahu bahwa dia hanya makhluk yang diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Manusia golongan ini adalah manusia luhur dan suci. Mereka menghayati firman Allah “Katakanlah bahwa sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam.”
Tetapi beberapa tantangan serius menghadapi mereka. Tidak sedikit kegagalan terjadi jika anak Adam ini tidak berhasil menghadapi tantangan-tantangan tersebut.
Tantangan pertama adalah tantangan pemahaman. Sejauh mana anak manusia memahami apa yang Allah SWT tuntut darinya. Berapa banyak orang yang serius beribadah bahkan mengorbankan segala yang dia miliki untuk suatu hal yang sebetulnya tidak dituntut darinya. Betapa banyak kewajiban ditinggalkan karena melaksanakan ibadah sunah yang tidak prioritas dalam neraca Syariah. Betapa banyak kewajiban kolektif diabaikan padahal itu menyangkut kepentingan umum disebabkan sang manusia lebih asyik dengan ibadah personal yang porsinya bisa dibatasi. Betapa banyak bid’ah yang dianggap sunnah. Betapa banyak sunnah yang dianggap bid’ah.
Tanpa berpegang teguh pada pemahaman yang benar terhadap Qur’an dan Sunnah, sangat sulit seorang muslim dapat dengan tepat melaksanakan peranan dan tugas yang dituntut darinya.
Kesalahan yang paling parah adalah yang terjadi pada golongan yang menganggap bahwa penyerahan diri terhadap Allah adalah bersikap fatalis atau yang dikenal dengan kaum Jabriyah. Bahwa manusia hanya dituntut menyerah pada takdir, tidak perlu berusaha atau merencanakan masa depan yang baik. Iman kepada takdir mereka pahami sebagai sikap pasif terhadap usaha perubahan.
Umar bin Khaththab pernah begitu gusar dengan pemahaman seperti ini, ketika beliau dan beberapa sahabat hendak memasuki daerah yang dilanda wabah. Setelah bermusyawarah akhirnya diputuskan untuk membatalkan kunjungan ke daerah tersebut. Salah seorang sahabat menentang putusan itu, dan berkata, “Apakah kita lari dari takdir Allah?” Umar bin Khaththab terkejut dengan tanggapan tersebut, lalu menjawab, “Iya kita lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar